Catatan Darmaningtyas : Taksi Online Perlu Legalisasi? (Bagian 2 Habis)

Kamis, 24/03/2016 08:43 WIB

mobilinannews (Jakarta) - Maraknya penggunaan aplikasi teknologi dalam sistem transportasi tersebut memunculkan desakan kepada pemerintah untuk merevisi UU LLAJ yang mengakomodasi kehadiran aplikasi teknologi dalam transportasi.

Desakan ini benar tapi tidak tepat. Mengapa? Karena kasus yang diributkan itu sangat lokalistik, terjadi di Jakarta dan sekitarnya atau beberapa kota besar saja, bukan kasus nasional; sementara UULLAJ itu memiliki cakupan nasional. UU LLAJ berlaku secara nasional, tidak bisa berlaku hanya untuk daerah tertentu saja.

Oleh karena itu, yang betul adalah bukannya UU LLAJ harus menyesuaikan kehadiran layanan transportasi berbasis aplikasi teknologi, melainkan aplikasi layanan transportasi yang perlu menyesuaikan LLAJ. Siaran Pers Kementrian Perhubungan  Nomor : 216/HKM/III/2016  tentang Peningkatan Kualitas Layanan Angkutan Umum dan Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi, yang ditandatangani oleh Plt. Direktur Jendral Perhubungan Darat Sugihardjo pada tanggal 16 Maret 2016 sudah tepat.

“Bahwa perusahaan penyedia layanan perangkat lunak (aplikasi) dapat bekerja sama dengan operator angkutan umum yang memiliki ijin resmi, antara lain operator taksi maupun angkutan sewa”.
 
Logika Siaran Peres itu sudah tepat, bahwa bukan UU LLAJ yang disesuaikan dengan kehadiran aplikasi teknologi. Tapi aplikasi teknologi lah yang menyesuaikan amanat UU LLAJ. UU LLAJ sama sekali tidak anti teknologi, bahkan mendorong pemanfaatanan teknologi.

Salah satu asas UU LLAJ adalah efisiensi dan efektif (pasal 2 butir f). Asas itu hanya mungkin terwujud bila mengakomodasi kehadiran teknologi.  Tapi aplikasi teknologi tersebut tidak dapat berdiri sendiri bila dimaksudkan untuk memberikan layanan transportasi kepada publik (mengangkut penumpang dan menarik bayaran dari penumpang).

Jika sudah menjalankan peran sebagai sarana angkutan umum, maka aplikasi teknologi tersebut wajib tunduk pada UU LLAJ pasal 139 ayat (4) bahwa penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
Kesaktian layanan angkutan berdasarkan aplikasi teknologi itu akan teruji di lapangan setelah mereka mengikuti persyaratan sebagaimana yang dituntut pada pengelola taxi reguler, yaitu memiliki izin operasional, punya pool, melaksanakan uji KIR setiap enam bulan sekali, pengemudi wajib mengikuti asuransi tenaga kerja, berplat kuning, tarif ditentikan oleh Pemerintah, dan membayar pajak.

Jika persyaratan yang sama dikenakan pada operator aplikasi teknologi dan tarif mereka masih tetap kompetitif, maka operator taxi reguler (legal) lah yang dituntut berbenah agar tarifnya lebih kompetitif. Tapi bila kondisinya seperti sekarang ini, layanan aplikasi itu tidak dikenai persyaratan sebagaimana dikenakan pada layanan taxi reguler, tentu tidak fair. Pemerintah semestinya melindungi pada operator taxi legal, sesuai dengan UU LLAJ, mengingat kita negara hukum.
 
Jadi solusi atas maraknya layanan angkutan umum dengan menggunakan aplikasi teknologi itu bukan dengan memblokir atau meralang penggunaan aplikasi tersebut, tapi memaksa mereka untuk tunduk pada UU LLAJ yang mensyaratkan penyedia layanan angkutan umum berbentuk badan hukum sebagai penyedia angkutan umum.

Masalah Uber/Grabtaxi versus taxi legal/reguler bukanlah perang teknologi, melainkan persaingan bisnis yang tidak equal, karena yang satu (Uber/Grabtaxi) tidak dikenai kewajiban apa-apa oleh Pemerintah, sedangkan yang satunya lagi (taxi regular dibebani banyak kewajiban). Oleh karena masalahnya adalah persaingan bisnis yang tidak equal, maka peran Pemerintah adalah membuat persaingan itu equal dengan mengenakan persyaratan yang sama.
 
Bahaya dari mengikuti desakan untuk merevisi UU LLAJ adalah perkembangan teknologi itu amat dinamis, sangat mungkin dalam waktu lima tahun akan muncul temuan-temuan tekonologi baru di dalam sistem transportasi kita. Bila temuan-temuan tersebut harus diakomodasi dalam UU LLAJ, artinya UU LLAJ setiap saat akan berubah dan kita tidak akan pernah memiliki kepastian hukum. Kepastian hukum itu diperlukan agar kita memiliki kepastian hukum.
 
Perlakuan yang berbeda tertuju pada ojek online. Oleh karena kehadiran ojek (pangkalan dan online) itu sebagai anomali dalam sistem transportasi akibat dari buruknya layanan angkutan umum, maka mereka tidak perlu dilarang dan juga tidak perlu diatur dalam UU LLAJ.

Tugas pemerintah adalah membenahi angkutan umum agar aman, nyaman, selamat, lancar, dan terjangkau. Atau dengan kata lain handal. Bila angkutan umumnya sudah handal, secara otomatis masyarakat akan meninggalkan ojek sebagai moda transportasi umum, dan ojek akan lebih tepat sebagai angkutan kurir (pengantar barang).

Mengatur ojek di dalam UU LLAJ memiliki implikasi yang luas dan kompleks, mengingat data berbicara bahwa 70% kecelakaan lalu lintas melibatkan sepeda motor. Ini artinya sepeda motor bukan moda transportasi yang berkeselamatan.

 

TERKINI
Chery Amarta Padalarang Hadir di Jawa Barat, Tawarkan Layanan Terbaik dan SUV Premium! Kehadiran BYD Seagull dengan Harga Terjangkau Usik Ketenteraman Industri Otomotif AS AHM dan Wahana Makmur Sejati Konsisten Siapkan Pelajar Hadapi Dunia Kerja Jepang dan ASEAN Siapkan Strategi Bersama Hadapi Dominasi Tiongkok di Pasar Kendaraan Listrik, Ini Langkah yang Dilakukan