
mobilinanews (Jakarta) - Di tengah tekanan global dan perubahan strategi industri otomotif dunia, Thailand sedang mengalami fase genting. Gelombang penutupan pabrik kendaraan bermotor oleh sejumlah raksasa otomotif global memicu keprihatinan, sekaligus refleksi mendalam bagi negara-negara tetangga, termasuk Indonesia. Namun, pertanyaannya bukan sekadar siapa yang kalah dan siapa yang bertahan, tapi siapa yang bergerak lebih cepat.
Menurut laporan terbaru dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia, atau Gaikindo, Thailand saat ini tengah menjalani fase konsolidasi besar-besaran dalam sektor otomotif. Negara yang selama dua dekade dikenal sebagai Detroit-nya Asia Tenggara itu kini menghadapi eksodus beberapa nama besar seperti Subaru, Suzuki, dan Honda, hanya dalam waktu satu tahun terakhir.
Subaru menjadi yang pertama mengambil langkah mengejutkan dengan resmi menutup fasilitas produksinya di kawasan Lat Krabang pada Desember 2024 lalu. Tak lama berselang, Suzuki menyusul dengan pengumuman penutupan pabrik yang dijadwalkan rampung akhir 2025. Honda pun ikut merampingkan operasional mereka. Semua ini terjadi di tengah gejolak politik dan ekonomi dalam negeri serta penurunan volume penjualan secara signifikan.
Data dari ASEAN Automotive Federation dan OICA menunjukkan penjualan mobil di Thailand sepanjang 2024 hanya mencapai 562 ribu unit. Jumlah ini membuat pangsa pasar mereka di kawasan ASEAN merosot ke 18 persen, jauh di bawah Indonesia dan Malaysia.
Namun, meskipun tengah dilanda tekanan berat, Thailand tidak tinggal diam. Alih-alih larut dalam kepanikan, mereka justru mempercepat diplomasi industri dengan negara-negara mitra. Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara, mengungkapkan bahwa perwakilan dari Thailand kini sangat agresif menjalin komunikasi strategis dengan prinsipal otomotif di Jepang dan Korea Selatan.
“Saya sendiri bertemu dengan delegasi dari Thailand di berbagai seminar di Jepang dan Korea Selatan. Mereka aktif mempromosikan investasinya, bahkan dalam forum-forum yang tidak dihadiri negara ASEAN lainnya. Ini harus jadi perhatian kita,” ujar Kukuh.
Fenomena ini sebetulnya membuka dua sisi koin untuk Indonesia. Di satu sisi, penutupan pabrik di Thailand bisa jadi peluang emas untuk menarik investasi relokasi. Tapi di sisi lain, jika Indonesia gagal bergerak cepat, negara ini justru bisa menjadi target berikutnya dari strategi efisiensi global para pemain otomotif.
Indonesia saat ini berada dalam posisi ekonomi yang relatif lebih solid. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang stabil serta pasar domestik yang besar menjadikannya ladang potensial bagi investasi jangka panjang. Namun, potensi tanpa strategi tidak berarti apa-apa.
“Pengalaman pandemi 2020 sudah menunjukkan bahwa industri otomotif sangat responsif terhadap insentif. Waktu itu produksi sempat drop ke 550 ribu unit. Tapi begitu insentif diberikan, pasar langsung bangkit. Artinya, kuncinya ada di kebijakan,” jelas Kukuh.
Sayangnya, masih banyak ketidaksinkronan antara keinginan untuk tumbuh dengan kesiapan regulasi dan kebijakan jangka panjang. Di sisi fiskal misalnya, Indonesia dikenal memiliki beban pajak kendaraan yang relatif tinggi. Ini sering kali menjadi hambatan bagi daya saing industri otomotif dalam negeri.
Langkah Thailand untuk memperkuat relasi dengan Jepang dan Korea Selatan bukan tanpa alasan. Dua negara itu merupakan pemilik merek dan teknologi otomotif terbesar di kawasan. Dengan memperkuat kemitraan strategis, Thailand berupaya menjaga posisinya sebagai hub produksi utama meski tengah dilanda badai penutupan pabrik.
Sementara itu, Indonesia belum terlihat mengambil inisiatif seagresif Thailand. Meski memiliki potensi pasar yang lebih besar, pemerintah Indonesia masih terkesan berhati-hati. Belum ada strategi nasional jangka menengah yang secara eksplisit menargetkan relokasi industri dari negara tetangga.
Padahal, bila dilihat dari sejarahnya, industri otomotif global sangat dipengaruhi oleh insentif pemerintah, stabilitas kebijakan, dan kemudahan investasi. Dalam konteks ini, Indonesia perlu bergerak cepat sebelum para investor memutuskan untuk tetap bertahan di Thailand atau malah pindah ke Vietnam, yang juga mulai agresif menarik pabrik-pabrik besar.
Penutupan pabrik otomotif di Thailand bisa menjadi momentum langka bagi Indonesia. Tapi hanya jika ditangani dengan strategi yang tepat dan langkah cepat. Jika dibiarkan berlalu begitu saja, bukan tidak mungkin dalam waktu dekat giliran Indonesia yang akan menghadapi pengurangan investasi karena dianggap kurang kompetitif.
Gaikindo telah menyampaikan sinyal penting kepada pemerintah. Sekarang tinggal bagaimana negara merespons. Indonesia tidak bisa terus menjadi penonton dalam dinamika industri otomotif global. Kita harus jadi pemain yang proaktif, bukan hanya reaktif.