
mobilinanews (Jakarta) - Dalam beberapa bulan terakhir, lanskap penjualan mobil elektrifikasi di Indonesia mengalami pergeseran besar. Battery Electric Vehicle (BEV) alias mobil listrik murni, kini perlahan mulai menggeser dominasi hybrid (HEV) yang sempat lebih dulu populer.
Data Gaikindo mencatat, sepanjang Januari–Mei 2025, penjualan mobil BEV telah menyentuh 30.327 unit, jauh meninggalkan mobil hybrid yang hanya di angka 22.819 unit.
Fenomena ini bukan sekadar tren sesaat, tapi juga refleksi dari perubahan selera konsumen, strategi agresif produsen mobil asal China, hingga kebijakan insentif pemerintah yang memperkuat arus impor mobil listrik.
Hybrid Meredup, BEV Bersinar: Apa Penyebabnya?
Ketua I Gaikindo, Jongkie Sugiarto, mengakui bahwa HEV mulai kalah pamor dibanding BEV. Salah satu penyebab utama adalah minimnya varian hybrid yang tersedia di pasar.
Sebaliknya, BEV justru banjir pilihan. Nama-nama seperti BYD Dolphin, Atto 3, Seal, Denza D9, Aion Y Plus, hingga Geely EX5 makin akrab di telinga konsumen tanah air.
“Model hybrid masih terbatas. Sementara PHEV mulai banyak diluncurkan, BEV sudah lebih dahulu menyerbu pasar dengan variasi lengkap,” ujar Jongkie.
Padahal, mobil hybrid seperti Innova Zenix, Yaris Cross, XL7 Hybrid, hingga Ertiga Hybrid merupakan produk lokal dengan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) di atas 60%. Sayangnya, itu belum cukup untuk melawan gempuran mobil listrik murni yang diimpor secara utuh (CBU), terutama dari China.
Produksi Lokal Masih di Jalur Perencanaan
Merek-merek asal China memang agresif. Mereka belum hanya menjual, tapi juga menanamkan investasi untuk membangun pabrik di Indonesia.
BYD tengah membangun fasilitas produksi di Subang, Jawa Barat, dengan kapasitas 150.000 unit per tahun.
Aion sudah lebih dulu memulai produksi di Cikampek dengan kapasitas 50.000 unit per tahun.
Geely menyusul lewat kerja sama dengan PT Handal Indonesia Motor (HIM).
Namun, hingga saat ini, sebagian besar penjualan masih ditopang oleh unit impor CBU, yang menikmati fasilitas bebas bea masuk dan PPnBM berkat PMK No. 12 Tahun 2025.
Dampaknya ke Industri Lokal: Warning untuk Produsen Domestik
Menurut Yannes Martinus Pasaribu, pakar otomotif dari ITB, fenomena ini bukan tanpa risiko. Ia menyebutkan bahwa banjirnya mobil listrik impor berpotensi menekan utilisasi pabrik dalam negeri, bahkan bisa memicu PHK massal jika tak diantisipasi.
“Produk impor datang dengan teknologi tinggi dan harga lebih murah—bahkan bisa 20–35% lebih murah dari produk lokal sejenis. Ini memberi tekanan berat pada produsen lokal,” ujarnya.
Efek dominonya bisa menjalar ke industri komponen dan UKM otomotif pendukung, yang permodalannya lebih rapuh. Bila permintaan terhadap produk lokal terus menurun, maka rantaian industri otomotif nasional bisa terguncang.
Solusi Jangka Panjang: Dari Infrastruktur hingga SDM
Yannes menegaskan, pemerintah perlu lebih dari sekadar insentif fiskal. Fokus juga harus diarahkan pada:
Revitalisasi kawasan industri otomotif
Percepatan infrastruktur pendukung seperti listrik dan logistik
Investasi pada R&D dan transfer teknologi
Peningkatan kualitas SDM otomotif lokal melalui sinergi dengan perguruan tinggi teknologi.
“Tanpa langkah strategis itu, kita bukan hanya menghadapi persaingan tak seimbang, tapi juga risiko deindustrialisasi di tengah euforia kendaraan listrik,” tambahnya.
Arah Pasar di 2025: Konsumen Terbuka, Industri Terancam?
Penjualan BEV yang konsisten menyalip hybrid dalam beberapa bulan terakhir menandai pergeseran minat konsumen yang kini lebih terbuka terhadap mobil listrik penuh.
Namun, jika produksi lokal tidak segera menyusul, maka dominasi BEV impor bisa jadi pedang bermata dua—baik bagi pertumbuhan industri maupun keseimbangan ekonomi nasional.