mobilinanews (Jakarta) - Indra Saksono. Nama yang pasti tak asing buat pecinta balap nasional, khususnya balap mobil. Yang muda mengenangnya, yang tua mengenalnya.
Pria yang masih enerjik pada usia 72 tahun ini salah satu narasumber Parade dan Talk Show 3 Generasi di sela-sela kemeriahan IIMS Hybrid 2022 di JIExpo, Kemayoran, Jakarta, Rabu (6/4/2022) sore.
Sesuai judul acara, pembalap aktif sejak 1960-an itu datang dengan putranya, Fino Saksono dan cucu, Chesa Saksono. Tentu saja anak dan sang cucu juga pembalap. Benar-benar tiga generasi.
Saat talk show yang disiarkan livestreaming lewat akun medsos resmi IIMS dan IG iims_id, Indra banyak bercerita seputar dunia balap Indonesia. Dari era dirinya bersama alm Aswin Bahar, Beng Soeswanto dan sebagainya, hingga era terkini.
Di luar panggung, gairah Indra bicara soal balap tak pernah luntur. Dalam diskusi tersendiri dengan mobilinanews.com, ia merasa bahagia karena kini Indonesia sudah memiliki sirkuit Sentul, Mandalika, dan rencananya juga akan muncul sirkuit lain di Bintan dan Bali.
"Generasi balap Indonesia saat ini harus bersyukur dengan keberadaan sirkuit itu. Zaman kami dulu tak ada, harus cari-cari jalanan untuk balapan sampai akhirnya ada Sirkuit Ancol. Tapi, dengan keterbatasan itu kita disegani di Asia," kisahnya.
Terkait dengan keberadaan sirkuit-sirkuit baru itu, katanya, seyogyanya seiring dengan kemajuan dunia balap nasional dalam arti semakin banyak serial kompetisi di berbagai level. Dengan sendirinya dari kompetisi ini akan lahir para pembalap nasional yang berkiprah dan berpotensi raih prestasi di level internasional.
"Soal talenta tak perlu diragukan, banyak sekali di Indonesia ini. Skill dan nyali juga oke. Yang kurang adalah kesempatan," ungkap Indra yang pernah balap dengan mobil Mazda, Honda dan Toyota serta masih ikutan balap mobil ISSOM pada Maret lalu di sirkuit Sentul.
Kesempatan yang dimaksud adalah keterbatasan banyak pembalap bertalenta untuk meningkatkan prestasi. Tak lain karena umumnya pembalap Indonesia berstatus perseorangan. Hanya segelintir yang bisa disokong tim pabrikan.
Sementara di sisi lain sokongan sponsor baru pada batas kontribusi, belum sepenuhnya menutupi biaya yang dikeluarkan untuk balapan.
"Umumnya pembalap perorangan masih 'buang duit' di balapan. Banyak yang punya potensi tapi tempat di tim pabrikan sangat terbatas. Akhirnya sampai pada titik tertentu, biaya yang dikeluarkan jadi kendala, terutama untuk naik kelas," lanjutnya.
"Ada banyak pembalap potensial yang tak bisa memaksimalkan potensi yang dimilikinya akibat benturan dana tadi," sambung Indra.
Untuk itu, lanjutnya, jika balapan ini ingin berkembang menjadi industri tersendiri seperti di Eropa, tak ada jalan terbaik selain dukungan langsung dari pemerintah pada tahap awal.
Itu semata untuk menghidupkan atmosfer kompetisi yang pada saatnya kemudian semakin menggairahkan sektor swasta untuk terlibat di dalamnya.
"Dulu kami balapan ke Malaysia dan Thailand dapat subsidi negara. Misalnya tiket pesawat dan hotel. Hal sama dilakukan Thailand dan kita lihat betapa cepat perkembangan motorsport negara itu," beber Indra.
"Contohnya begini: ada balapan kejurnas misalnya di Mandalika. Buat pembalap yang disokong pabrikan tentu tak ada masalah. Tapi, untuk pembalap perorangan, untuk transportasi saja dari Jakarta dan kota lain sudah sangat besar biayanya. Dalam hal itulah perlunya subsidi. Bukan gratis, tapi potongan biaya tiket dan akomodasi saja sudah sangat bagus. Dengan begitu akan lebih banyak peserta yang ikut berkompetisi," papar Indra.
Dengan kata lain, Indra berharap hadirnya sirkuit-sirkuit bertaraf internasional tak hanya menggelar event internasional, tetapi juga jadi ajang kejuaraan-kejuaraan nasional. Ini akan sangat berharga sebelum mereka mentas ke level internasional.
Ia pun berharap methode subsidi itu bisa dijalankan hingga pada saatnya nanti dunia balap nasional sudah bisa hidup sendiri dengan modal kesemarakannya.
"Yang penting semarak lebih dulu. Dengan kesemarakan itu otomatis minat dan jumlah sponsor meningkat, dan dalam kondisi tertentu membuat pembalap itu bisa benar-benar jadi profesi," ujar Indra.
Indra pun realistis. Bahwa tak mudah mewujudkan apa yang ia katakan. Tapi itu bukan sesuatu yang tak mungkin karena Thailand sudah berikan contoh nyata. Di negeri itu pada skala tertentu sudah menjadi bagian dari industri pariwisata, tak cuma jadi wacana. (rnp)