mobilinanews (Jakarta) - Masalah aplikasi teknologi dalam sistem transportasi umum kembali mengemuka ketika muncul aksi demo dari para awak angkutan umum legal di depan Istana Negara (14/3).
Aksi demo tersebut merupakan akumulasi kekecewaan para pengemudi angkutan umum atas menjamurnya layanan transportasi berbasis aplikasi teknologi, baik untuk roda empat (Uber dan Grabtaxi) maupun roda dua (Go-Jek, GrabBike, BlueJek, dan Lady Jek).
Kehadiran layanan angkutan berbasis teknologi tersebut dirasakan telah menggerus penumpang angkutan umum maupun penumpang ojek pangkalan. Keluhan ini telah dirasakan sejak 2014. Dinas Perhubungan DKI Jakarta dibawah kepemimpinan Muhamad Akbar saat itu sudah melakukan rasia terhadap Uber Taxi. Pihak Organda DKI Jakarta pun telah melakukan protes atas makin maraknya Uber Taxi (dan kemudian disusul oleh Grabtaxi). Namun layanan Uber dan Grabtaxi tetap jalan terus.
Maraknya kehadiran Uber Taxi dan kemudian disusul oleh Grabtaxi tidak terlepas dari adanya kebutuhan angkutan umum yang lebih aman, nyaman, dan terjangkau bagi kelas menengah.
Penumpang Uber Taxi dan Grabtaxi adalah mereka yang sebelumnya naik taxi reguler atau mobil pribadi. Mereka pindah ke layanan Uber Taxi/Grabtaxi karena: tarifnya lebih murah, mudah dan cepat aksesnya, memakai kendaraan plat hitam. Sehingga dari segi prestise lebih prestisius, terlebih bila harus menemui relasi yang kadang butuh basa basi penampilan.
Bagi mereka yang semula naik mobil pribadi dan pindah ke Uber Taxi/Grabtaxi, karena dari segi biaya lebih murah dengan tingkat kenyamanan dan keamanan yang sepadan.
Sedangkan ojek online baru marak pertengahan 2015 ketika seragam jaket dan topi Go-Jek terlihat marak di Ibu Kota Jakarta. Berbeda dengan penumpang Uber Taxi dan Grabtaxi yang lebih segmented (golongan menengah dan memiliki kartu kredit), penumpang Go-Jek dengan segala turunannya (GrabBike, Blue-Jek, dan Lady Jek) lebih luas lagi: ada yang berasal dari penumpang ojek konvensional (pangkalan), penumpang bajai, dan tidak sedikit yang berasal dari penumpang taxi/mobil pribadi yang ingin keluar dari kemacetan.
Hal itu dapat terdeteksi dari keluhan para pengemudi taxi dan bajai, yang mengeluhkan bahwa penumpang mereka mengalami penurunan lebih dari 30% setelah adanya ojek online.
Agar cara pandang kita terhadap permasalahan jelas dan terpilah, kita bedakan secara jelas antara Uber Taxi dan Grabtaxi dengan ojek online (Go-Jek, GrabBike, Blue-Jek, dan Lady Jek). Kehadiran Uber Taxi dan Grabtaxi secara fungsional merebut pasar taxi reguler yang memiliki izin (legal) usaha transportasi, sementara Uber Taxi dan Grabtaxi tidak memiliki izin usaha transportasi.
Sedangkan kehadiran ojek online tidak bisa dikatakan merebut pangsa pasar ojek pangkalan karena ojek pangkalan pun dapat bergabung di ojek online. Kecuali itu, secara yuridis, ojek pangkalan dengan ojek online sama-sama tidak diatur dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
Para pengusaha taxi reguler (legal) berhak melakukan protes terhadap kehadiran Uber Taxi dan Grabtaxi yang telah merugikan usaha mereka, tapi ojek pangkalan tidak berhak protes terhadap kehadiran ojek online karena ibaratnya sama-sama anak haram. Bila mereka tidak ingin tergusur dari profesinya sebagai pengojek, mereka bisa bergabung di ojek online.
Dengan kata lain, pada kasus taxi regular versus Uber Taxi/Grabtaxi ada persoalan legal dan ilegal, sehingga pemerintah dapat berpihak secara jelas, tapi pada ojek pangkalan versus ojek online sama-sama ilegal. Karena sama-sama ilegal, maka memiliki hak hidup yang sama. (Bersambung)