mobilinanews (Jakarta) - Carut marut transportasi umum di Jakarta semakin hari kian memprihatinkan. Salah satunya seperti kasus Metro Mini yang sering terlihat ugal-ugalan bahkan hingga memakan korban.
Bukan pemandangan aneh jika Metro Mini mengebut di jalur padat, saling kejar antar bus, atau menerobos palang pintu perlintasan kereta meski lampu tanda kereta datang sudah menyala.
Bobroknya angkutan umum berwarna merah biru tersebut membuat mobilinanews.com penasaran kenapa hal itu sering terjadi. Demi mendapatkan keterangan yang jelas, mobilinanews.com mewawancarai Darmaningtyas dari Institute for Transportation Studies (sebuah LSM yang mengkampanyekan angkutan umum, sepeda, dan pejalan kaki).
Lewat wawancara singkat pada saat Forwot menggelar kopi darat "Menata Transportasi Jakarta, Menelisik Peran Angkutan Lingkungan : Studi Kasus Angkutan Roda Tiga", Darmaningtyas menjelaskan alasan mengapa Metro Mini kerap ugal-ugalan dijalan.
Pertama, kita bisa lihat dari kondisi fisik Metro Mini. "Kendaraan itu umurnya rata-rata sudah di atas 20 tahun. Meski ada yang terlihat baru namun belum tentu ada standar jaminan kelayakannya."
Kedua, sejak satu dekade terkahir, adanya konflik dan dualisme kepengurusan. Hal ini menyebabkan anggotanya bingung kepada siapa harus meminta pengarahan. "Metro Mini berbentuk perseroan terbatas tapi sistemnya seperti koperasi, jadinya kepemilikannya perorangan."
Lantas, Dinas Perhubungan dan Transportasi (Dishubtrans) DKI Jakarta pernah menawarkan agar Metro mini bergabung dengan manajemen PT TransJakarta, namun hal itu tidak ada kejelasannya.
"Harusnya para pengurus itu dipanggil dan diberi batas waktu untuk memperbaikinya, kalau mereka tetap tidak berdamai untuk melakukan perbaikan, mending izin Metro mininya dicabut saja, karena tidak boleh mengorbankan penumpang," terang pria lulusan UGM itu.
Alasan ketiga menurut pria kelahiran Gunung Kidul ini adalah sistem kejar setoran. "Hal itu menyebabkan sopir angkutan ugal-ugalan dalam mengejar uang setoran karena berebut penumpang dengan awak angkutan lain. Bahkan kerap kali menyetir sambil memegang telefon genggam. Padahal, bukan hanya membahayakan penumpang, perilaku semacam ini juga beresiko merugikan pengguna jalan lain."
Selanjutnya keempat seperti perekrutan sopir yang tidak ada standar yang jelas. "Hampir semua pemilik Metro Mini tidak perduli dengan operasional mobilnya. Jadi satu Metro Mini bisa dikendarai satu hingga empat sopir secara bergantian, alias sopir tembak."
Alasan kelima adalah rendahnya pembinaan dari Dishubtrans DKI kepada para awak angkutan umum dalam hal ini Metro mini menjadi faktor selanjutnya yang mempengaruhi intensitas kecelakaan Metromini.
"Sebenarnya dari Dishub DKI Jakarta telah menyiapkan pelatihan khusus bagi para supir angkutan umum tapi Gubernur Ahok mengatakan hal itu percuma. Karena setelah mendapatkan pelatihan, para supir tetap saja melanggar aturan." (Zhein)