mobilinanews (Jakarta) - Persoalan elektrifikasi di Indonesia adalah belum adanya infrastruktur pengisian baterai atau Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) yang memadai. Padahal isu ini yang ditawarkan pemerintah untuk menekan emisi gas buang (CO2) di sektor transportasi.
Hingga 2023, jumlah SPKLU yang dibangun oleh PLN berkolaborasi dengan swasta tercatat ada 1.081 unit. Tersebar dari Pulau Jawa sampai Pulau Bali. Jumlah ini tentu sangat terbatas, jika dibandingkan dengan luasan wilayah dan jumlah kendaraan listrik yang ada.
Apalagi bila mengacu pada waktu pengisian baterai yang cukup lama. Semisal mobil listrik yang dikembangkan oleh BMW, Mini, Wuling, Hyundai, Nissan, dan Lexus, waktu pengecasan baterainya rata-rata antara 1 jam, 4 jam, bahkan 15 jam. Ini menjadi masalah tersendiri, jika mengantre di SPKLU.
Menjawab itu, Pengamat Energi, Moshe Rizal mengatakan perlu adanya peran pemerintah untuk mengatur regulasi sampai pada pencarian investor yang tepat untuk membangun infrastruktur SPKLU bagi kendaraan listrik.
Rizal mencontohkan pemerintah Cina, Eropa dan Amerika yang gencar dan berhasil melahirkan kebijakan yang mendukung sektor transportasi berbasis listrik.
"Harus ada peran pemerintah dari sisi regulasi, dipermudah, subsidi itu juga penting. Semua negara Eropa, Amerika, dan Cina, bisa marak dengan elektrifikasi di transportasinya karena ada subsidi dan regulasi dari pemerintah," kata Rizal pada Pelatihan Media 2024 bertajuk `Bisnis Karbon dan CCUS, Potensi, Bisnis Proses dan Outlook di Jakarta, Sabtu (22/6/2024).
Selain itu, pemerintah bisa belajar dari perkembangan masif EV di Amerika yang dinahkodai oleh Elon Musk dengan Teslanya. Artinya sektor swasta yang paling berkepentingan dengan kendaraan listrik, bisa didorong untuk mengambil peran dalam pembangunan infrastruktur pengecasan EV seperti SPKLU.
"Dunia bisa heboh dengan EV itu asalnya dari mana, bukan dari pemerintah yang investasi di infrastruktur SPKLU di mana-mana. Tapi yang investasi itu sektor swasta. Siapa yang menjual mobilnya, karena mereka yang paling berkepentingan untuk memarakkan EV itu sendiri," paparnya.
Pengimplementasian strategi yang sama bisa dilakukan di Indonesia, jika pemerintah mengajak Agen Pemegang Merek (APM) aau produsen otomotif untuk ikut mendukung penuh pembangunan SPKLU.
"Siapa yang menjual mobil listrik paling berkepentingan untuk memarakan electric vehicle itu sendiri. Nah, bagaimana? Apakah itu bisa diimplementasikan di Indonesia?. Pemerintah harus mendrive sektor swasta untuk membangun SPKLU. Caranya, ya dari industri otomotif itu sendiri," tuturnya.
Hal ini perlu dilakukan karena tidak ada investor yang akan mau membangun ribuan SPKLU untuk kendaraan listrik, kalau mereka sendiri tidak punya keuntungan dari bisnis tersebut.
"Jadi yang mesti diincar ya perusahaan-perusahaan yang besar dari Cina atau Indonesia yang mau menggalakan electric vehicle-nya. Karena PLN sendiri kalau disuruh bangun ratusan ribu (SPKLU) kaya di Amerika, duitnya dari mana," tukasnya.
Untuk itu, kuncinya ada di pemerintah. Mereka bisa menerapkan strategi yang sudah diterapkan di seperti Cina, Amerika dan yang lainnya. Mendorong regulasi, subsidi, dan insentif dan melibatkan investor yang berkepentingan untuk membangun infrastruktur atau investor yang menggunakan infrastruktur kendaraan listrik.