
mobilinanews (Jepang) - Nissan tengah menghadapi badai paling besar sepanjang sejarah perjalanannya sebagai salah satu raksasa otomotif Jepang. Tahun fiskal 2024 yang berakhir pada Maret mencatatkan luka finansial yang dalam. Perusahaan resmi melaporkan kerugian bersih antara 700 hingga 750 miliar yen atau setara Rp 76 triliun hingga Rp 82 triliun. Angka ini mencetak rekor sebagai kerugian terbesar dalam sejarah perusahaan yang sudah berdiri sejak 1933 itu
Laporan ini pertama kali dilansir oleh Carscoops dan sontak menjadi pembicaraan hangat di kalangan industri otomotif dunia. Sebab ini bukan hanya sekadar penurunan performa biasa. Ini adalah tanda bahaya. Tanda bahwa transformasi besar-besaran sedang berjalan dan belum tentu menjanjikan hasil yang lebih baik
Penyebab utama kerugian ini disebut berasal dari kombinasi buruk antara penurunan penjualan global persaingan pasar yang semakin sengit serta langkah-langkah restrukturisasi perusahaan yang memakan biaya besar. Salah satunya adalah dampak kegagalan merger senilai 60 miliar dolar AS dengan Honda yang sebelumnya sempat diharapkan bisa menjadi penyelamat
Sebagai bagian dari restrukturisasi besar itu Nissan terpaksa mengambil keputusan menyakitkan. Tak tanggung-tanggung sebanyak 9.000 karyawan terkena pemutusan hubungan kerja atau PHK. Ini menjadi langkah paling signifikan yang pernah diambil Nissan dalam beberapa dekade terakhir
Bukan hanya karyawan yang terdampak. Nissan juga menutup sejumlah pabrik dan memangkas lini produk yang dianggap kurang menguntungkan. Strategi ini ditujukan untuk menghemat dana operasional hingga 2,5 miliar dolar AS. Namun langkah efisiensi ini belum mampu menyelamatkan performa keuangan perusahaan yang semakin tertekan
Selain itu nilai aset produksi Nissan juga turun drastis. Di berbagai wilayah mulai dari Amerika Utara Amerika Latin Eropa hingga Jepang nilai total kerugian dari penurunan aset ini mencapai 500 miliar yen. Ini mencerminkan kondisi pasar yang semakin berat dan rendahnya minat konsumen terhadap model-model tertentu yang diproduksi Nissan
Meski dihantam kerugian besar Nissan masih memiliki kas bersih sekitar 1,5 triliun yen atau setara Rp 165 triliun. Angka ini cukup untuk menjaga likuiditas dalam jangka pendek namun tidak cukup untuk bertahan jangka panjang tanpa strategi baru yang lebih agresif
Sadar bahwa mereka tak bisa lagi berjalan sendiri Nissan kini mencari mitra baru untuk bertahan. Yang paling mencuri perhatian adalah sinyal ketertarikan dari raksasa teknologi Taiwan Foxconn. Perusahaan yang dikenal luas sebagai produsen komponen Apple itu disebut lebih tertarik menjalin kerja sama strategis ketimbang mengakuisisi Nissan secara langsung
Kondisi ini memunculkan berbagai pertanyaan besar. Apakah Nissan akan bisa bangkit dari keterpurukan ini seperti saat krisis di awal 2000-an saat Carlos Ghosn masih berkuasa Atau justru ini menjadi awal dari penurunan panjang sebuah merek legendaris Jepang yang dulu jadi simbol inovasi dan ketangguhan
Yang jelas industri otomotif global sedang berada di titik balik. Peralihan ke kendaraan listrik perubahan tren konsumen dan tekanan geopolitik memaksa semua pemain untuk bergerak cepat dan cermat. Bagi Nissan tantangan ini sudah di depan mata. Jika mereka gagal menjawabnya dengan tepat sejarah mungkin akan mencatat 2024 sebagai awal runtuhnya salah satu ikon otomotif Jepang