
mobilinanews (Jakarta) - Industri otomotif nasional tengah berada di persimpangan penting. Dalam laporan terbaru Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), posisi Indonesia sebagai pasar otomotif terbesar di kawasan ASEAN mulai terancam oleh Malaysia.
Sepanjang 2024, penjualan mobil di Tanah Air memang masih yang tertinggi, namun selisihnya semakin menipis. Indonesia mencatat penjualan sebesar 865 ribu unit, sedangkan Malaysia hanya terpaut tipis di angka 816 ribu unit. Dengan populasi yang jauh lebih kecil, yakni sekitar 33 juta penduduk, Malaysia dinilai berhasil mengoptimalkan potensi pasar lewat serangkaian kebijakan yang lebih konsisten dan menguntungkan bagi konsumen maupun industri.
Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara, menyebut ada dua penyebab utama mengapa performa pasar otomotif Malaysia kini nyaris menyaingi Indonesia. Pertama adalah konsistensi kebijakan sejak pandemi Covid-19, dan kedua adalah struktur pajak kendaraan yang jauh lebih ringan.
“Malaysia mampu mempertahankan insentif otomotif dari masa pandemi hingga sekarang. Sementara kita di Indonesia, kebijakannya berubah-ubah dan cenderung terlalu cepat mencabut dukungan,” ujar Kukuh.
Ia juga menyoroti beban pajak yang tinggi sebagai penghambat daya beli konsumen di Indonesia. Di sini, mobil dengan harga pabrik Rp100 juta bisa tiba di tangan konsumen dengan harga Rp150 juta. Selisih Rp50 juta tersebut hampir seluruhnya berasal dari beban pajak seperti PPN, PPnBM, dan pajak kendaraan bermotor.
Sebagai ilustrasi, Kukuh membandingkan pajak tahunan mobil Avanza 1.5L di Malaysia yang hanya sekitar Rp385 ribu per tahun. Sedangkan di Indonesia, angka tersebut mencapai Rp4 juta. Ini menjadi penghalang besar bagi kelas menengah untuk memiliki kendaraan pribadi.
Perbedaan besar dalam filosofi perpajakan antara Indonesia dan Malaysia ikut memengaruhi laju penjualan mobil. Di Malaysia, pemerintah tampaknya lebih fokus pada pertumbuhan industri dan penyebaran kendaraan ke seluruh lapisan masyarakat. Sementara di Indonesia, pendekatannya masih cenderung berbasis fiskal, dengan menjadikan otomotif sebagai sumber pemasukan negara.
Dampaknya bisa langsung terlihat. Malaysia, dengan populasi hanya setengah dari Indonesia, bisa menjual lebih dari 800 ribu unit mobil dalam setahun. Ini merupakan sinyal kuat bahwa efisiensi dan kebijakan jangka panjang lebih menentukan ketimbang sekadar jumlah penduduk.
Berikut adalah data penjualan mobil sepanjang 2024 di negara-negara ASEAN:
Indonesia: 865.723 unit
Malaysia: 816.747 unit
Thailand: 562.954 unit
Filipina: 467.253 unit
Vietnam: 340.142 unit
Singapura: 52.828 unit
Melihat data ini, bisa dibilang hanya Indonesia dan Malaysia yang kini benar-benar bersaing ketat dalam hal jumlah penjualan. Unit yang dijual Malaysia hanya sekitar 6 persen lebih rendah dari Indonesia. Hal ini menjadi sinyal bahwa, jika tidak ada terobosan baru, maka bukan tidak mungkin Malaysia akan merebut posisi puncak dalam beberapa tahun ke depan.
Menurut Kukuh, situasi ini harus dijadikan peringatan. Pemerintah perlu segera memberikan insentif yang lebih stabil dan jangka panjang bagi industri otomotif. Nasionalisme ekonomi tidak bisa hanya dibangun lewat seruan beli produk lokal, tetapi harus didukung kebijakan yang konkret dan berpihak pada industri dalam negeri.
Ia menegaskan bahwa insentif jangka pendek tidak akan cukup. Yang dibutuhkan adalah roadmap yang jelas dan keberanian merevisi sistem perpajakan agar lebih ramah konsumen, sekaligus tetap menjaga kontribusi terhadap kas negara.
Salah satu kelompok yang paling terdampak dari beban pajak dan ketidakpastian kebijakan ini adalah konsumen. Banyak masyarakat kelas menengah yang sebenarnya memiliki potensi untuk membeli mobil, namun batal karena harga jual terlalu tinggi. Padahal, segmen ini merupakan tulang punggung pertumbuhan industri otomotif.
Jika Indonesia ingin mempertahankan posisi sebagai pemimpin pasar otomotif Asia Tenggara, maka harga mobil harus kembali masuk akal bagi masyarakat luas. Tanpa itu, konsumen akan semakin berpaling ke transportasi lain dan pasar dalam negeri bisa stagnan, bahkan merosot.