Truk Sumbu 3 Dilarang Lewat Pemalang-Batang: Rugi Ratusan Miliar dan 500 Orang Terancam PHK

Minggu, 01/06/2025 11:10 WIB | Ade Nugroho
Truk Sumbu 3 Dilarang Lewat Pemalang-Batang: Rugi Ratusan Miliar dan 500 Orang Terancam PHK
Truk Sumbu 3 Dilarang Lewat Pemalang-Batang: Rugi Ratusan Miliar dan 500 Orang Terancam PHK

mobilinanews (Jakarta) -  Larangan melintas bagi truk sumbu tiga atau lebih di jalur nasional Pemalang-Batang mulai 1 Mei 2025 menjadi sorotan tajam para pelaku usaha logistik. Kebijakan yang diatur dalam Surat Dirjen Perhubungan Darat Nomor AJ.903/1/5/DRJD/2025 serta diperkuat oleh surat Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Pekalongan, menuai banyak protes. Salah satunya datang dari Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (APTRINDO) yang menganggap aturan ini bukan hanya merugikan secara ekonomi tapi juga mengancam stabilitas sosial di daerah tersebut.

Beban Logistik Meningkat Tajam

Larangan melintas selama 24 jam bagi truk sumbu tiga atau lebih dinilai akan mengerek biaya logistik secara signifikan. Berdasarkan data APTRINDO, rata-rata 3.000 truk melintasi jalur Pemalang-Batang setiap harinya. Dengan diberlakukannya larangan ini, para pengusaha harus mengalihkan rute ke jalan tol, yang otomatis meningkatkan biaya operasional.

Perjalanan yang sebelumnya dapat ditempuh lewat jalur nasional kini harus dialihkan ke jalan tol yang lebih panjang. Hal ini berdampak pada naiknya biaya tol rata-rata sebesar Rp150.000 per truk untuk satu kali perjalanan. Ditambah lagi dengan beban perawatan kendaraan seperti ban dan spare parts yang juga naik sekitar Rp150.000. Maka total biaya tambahan yang harus ditanggung oleh operator angkutan barang mencapai Rp300.000 per kendaraan per hari.

Kerugian Ratusan Miliar dan Ancaman PHK

Dengan 3.000 truk terdampak setiap hari, kerugian ekonomi akibat kebijakan ini mencapai Rp900 juta per hari. Jika dikalkulasikan selama satu bulan, kerugiannya bisa mencapai Rp27 miliar dan dalam setahun mencapai angka fantastis Rp324 miliar. Angka tersebut belum memperhitungkan biaya lain seperti kenaikan harga ban, suku cadang, serta risiko kecelakaan di rute alternatif yang lebih padat.

Tak hanya soal angka, dampak kebijakan ini juga merembet ke sisi sosial. APTRINDO memperkirakan potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 500 hingga 1.000 pekerja di sektor transportasi. Sopir, kernet, mekanik, dan tenaga penunjang lainnya kini berada dalam ancaman nyata kehilangan pekerjaan. Ini tentu menambah tekanan terhadap tingkat pengangguran yang masih tinggi pasca pandemi.

Perekonomian Lokal Tersendat

Efek domino dari larangan ini juga dirasakan langsung oleh pelaku usaha kecil di sepanjang jalur nasional Pemalang-Batang. Warung makan, bengkel pinggir jalan, toko ban, dan SPBU yang selama ini menggantungkan penghasilan dari arus kendaraan logistik diprediksi akan kehilangan pelanggan utama. Tidak sedikit UMKM yang sudah mulai merasakan penurunan omzet sejak awal Mei lalu.

Jika kendaraan besar tak lagi lewat jalur ini, otomatis perputaran uang di daerah pun melambat. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menggerus pertumbuhan ekonomi lokal serta memperlebar kesenjangan ekonomi antarwilayah.

Tidak Sejalan dengan Visi Nasional

Kritik utama dari APTRINDO adalah bahwa kebijakan ini justru berseberangan dengan misi besar pemerintah untuk menurunkan biaya logistik nasional. Saat negara-negara tetangga berlomba-lomba menekan biaya logistik untuk memperkuat daya saing produk mereka, Indonesia malah menciptakan hambatan baru yang memperberat pelaku usaha.

Biaya logistik yang tinggi tidak hanya memengaruhi sektor transportasi. Dampaknya terasa sampai ke harga barang yang dikonsumsi masyarakat. Ketika biaya distribusi naik, maka harga barang ikut naik, dan ujung-ujungnya beban ditanggung oleh konsumen.

APTRINDO Minta Peninjauan Ulang

Merespons kebijakan ini, APTRINDO telah mengirimkan surat keberatan kepada Menteri Perhubungan dan meminta agar larangan ini ditinjau ulang. Mereka mendesak pemerintah untuk mencari solusi yang lebih adil dan efisien, misalnya dengan memperbaiki infrastruktur jalan nasional atau menyesuaikan waktu larangan operasional secara selektif, bukan memberlakukan pelarangan penuh 24 jam.

Pelaku logistik juga membuka ruang dialog agar kebijakan publik bisa lebih mempertimbangkan dampak riil di lapangan. Keberlangsungan usaha, lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi daerah harus dijadikan pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan.