Gelombang Protes: Rencana Penghapusan Transjakarta Blok M-Kota Ditolak Pelanggan

Selasa, 24/12/2024 09:10 WIB | Ade Nugroho
Gelombang Protes: Rencana Penghapusan Transjakarta Blok M-Kota Ditolak Pelanggan
Gelombang Protes: Rencana Penghapusan Transjakarta Blok M-Kota Ditolak Pelanggan

mobilinanews (Jakarta) - Rencana Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi DKI Jakarta untuk menghapus Transjakarta Koridor 1 Blok M-Kota mendapatkan gelombang protes masyarakat.

Dishub berasalan, penghapus jalur tersebut mengurangi tumpang tindih moda Transjakarta dengan jalur MRT, yang menumpung di area yang sama.

Namun buat masyarakat, rute ini dianggap tak tergantikan karena menghubungkan berbagai titik strategis di Jakarta, dan harganya pun sangat terjangkau.

Pelanggan: Lebih Baik Tarif Naik daripada Rute Dihapus

Bagi Asmi (30), salah satu pengguna setia Transjakarta, naiknya tarif hingga Rp 5.000 jauh lebih bisa diterima daripada rute Blok M-Kota dihapuskan.

“Dibandingkan dihapuskan, mending tarifnya naik sedikit. Soalnya rute ini penting banget buat ke kantor,” ungkap Asmi.

Setiap hari, rute ini penuh sesak dengan penumpang, terutama di jam sibuk. Bahkan, mendapatkan tempat duduk saja sering kali menjadi kemewahan.

Hal serupa juga dirasakan oleh Stefani (27), warga Kebayoran yang bekerja di kawasan Juanda. “Kalau dihapus, jelas memberatkan. Transjakarta ini murah dan nyambung ke mana-mana,” ujarnya.

Transportasi Murah yang Tak Tergantikan

Transjakarta menjadi pilihan utama banyak warga karena tarifnya yang terjangkau. Seorang pelajar, Pija (18), mengandalkan Koridor 1 untuk bepergian ke sekolah atau sekadar jalan-jalan.

“Naik Transjakarta itu murah, nyaman, dan enggak ribet karena enggak perlu transit,” tutur Pija.

Selain tarif yang ramah di kantong, fasilitas yang aman dan nyaman menjadi alasan lain mengapa moda ini tetap diminati. Dibandingkan angkot atau ojek online, Transjakarta menawarkan nilai lebih dengan harga bersahabat.

Pengamat: MRT Tak Bisa Gantikan Transjakarta

Pengamat transportasi sekaligus Ketua Inisiatif Strategis untuk Transportasi (Instran), Darmaningtyas, menilai rencana ini tidak realistis. Menurutnya, karakteristik pelanggan Transjakarta dan MRT sangat berbeda, baik dari aspek sosial ekonomi, tarif, maupun pola perjalanan.

“Pelanggan MRT itu rata-rata dari kelas sosial ekonomi yang lebih tinggi. Sementara pelanggan Transjakarta berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Jadi, keberadaan MRT tidak bisa menggantikan layanan Transjakarta,” jelas Darma.

Dari sisi tarif, perbedaan ini semakin jelas. Tarif MRT yang dihitung berdasarkan jarak, seperti rute Lebak Bulus-Bundaran HI seharga Rp 14.000, jelas lebih mahal dibandingkan tarif flat Transjakarta sebesar Rp 3.500.

Dampak Negatif: Beralih ke Sepeda Motor

Darma juga memperingatkan bahwa penghapusan Transjakarta Koridor 1 berpotensi mendorong masyarakat kembali menggunakan sepeda motor.

“Kalau pelanggan dipaksa pindah ke MRT dan tidak mampu, mereka akan pilih sepeda motor. Ini jelas akan meningkatkan kemacetan, bukannya mengurangi,” katanya.

Menurutnya, keputusan ini menunjukkan Dishub kurang memahami kebutuhan lapangan. Jika rencana ini diterapkan, Jakarta bisa kehilangan salah satu moda transportasi yang paling efektif dan inklusif.

Dishub Tetap Bersikeras

Meski mendapat banyak kritik, Kepala Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, Syafrin Liputo, mengatakan rencana ini tetap akan direalisasikan pada tahun 2029, setelah jalur MRT dari Lebak Bulus hingga Kota selesai dibangun. Langkah ini diklaim untuk menghindari tumpang tindih antar moda transportasi umum.

Syafrin juga mengungkapkan bahwa Transjakarta Koridor 2 (Pulogadung-Harmoni) akan mengalami hal serupa setelah jaringan MRT diperluas.

Rute Strategis yang Tidak Mudah Digantikan

Koridor 1 Transjakarta yang melintasi jalur Blok M-Kota bukan hanya sekadar moda transportasi, tetapi juga bagian penting dari mobilitas warga Jakarta.

Bus di koridor ini menyisir lebih dari 20 halte di sepanjang jalur, rute ini menghubungkan kawasan perekonomian, pemerintahan, hingga pusat budaya dan sejarah.

Rencana penghapusan ini mencerminkan tantangan besar dalam merancang sistem transportasi Jakarta yang benar-benar inklusif dan sesuai kebutuhan warga.

Jika kebijakan ini tetap dijalankan, akankah warga Jakarta kembali memilih sepeda motor atau mencari alternatif transportasi lain? Hanya waktu yang akan menjawab.